Kepercayaan publik terhadap pemerintah merupakan modal sosial yang penting: ia mempermudah pelaksanaan kebijakan, menjaga stabilitas, dan memperkuat legitimasi pemerintahan. Namun beberapa tahun belakangan, kepercayaan tersebut menunjukkan tanda-tanda menipis di Indonesia. Fenomena ini punya akar yang kompleks—mulai dari masalah korupsi hingga kebijakan yang dinilai tidak berpihak pada rakyat. Artikel ini membahas penyebab utama menurunnya kepercayaan, dampaknya, serta langkah-langkah konkret yang bisa diupayakan untuk memulihkannya.
Penyebab Utama Penurunan Kepercayaan
1. Kasus Korupsi yang Terus Muncul
Korupsi masih menjadi penyakit publik yang paling menyedot kepercayaan masyarakat. Saat pejabat publik—yang semestinya menjadi contoh—terlibat korupsi, publik merasa dikhianati. Rasa ketidakadilan bertambah bila hukuman yang dijatuhkan dinilai ringan atau proses hukum berlangsung lama. Persepsi bahwa penegakan hukum "tajam ke bawah, tumpul ke atas" memperkuat pandangan bahwa sistem tidak bekerja untuk semua orang.
2. Penegakan Hukum yang Tidak Konsisten
Penegakan hukum yang tebang pilih menciptakan kesan impunitas bagi kelompok berkuasa. Ketika warga biasa menghadapi proses hukum yang cepat sementara kasus yang melibatkan elite berakhir tanpa pertanggungjawaban jelas, kepercayaan pada sistem peradilan menurun. Kesan ini diperkuat oleh adanya kriminalisasi terhadap pengkritik dan lambatnya penyelesaian perkara yang menyangkut kepentingan publik.
3. Kebijakan yang Terasa Tidak Pro-Rakyat
Keputusan kebijakan yang terlihat lebih menguntungkan kalangan tertentu—misalnya regulasi yang memudahkan monopoli, atau kebijakan impor yang berdampak pada petani lokal—mendorong anggapan bahwa pemerintah tidak berpihak pada kepentingan rakyat banyak. Kurangnya partisipasi publik dalam proses perumusan kebijakan juga memperbesar jurang antara pengambil keputusan dan masyarakat.
4. Lemahnya Transparansi dan Akuntabilitas
Transparansi pengelolaan anggaran, data, dan proses pengambilan keputusan sangat krusial untuk membangun kepercayaan. Ketika informasi sulit diakses atau laporan publik tampak kabur, mudah bagi publik untuk berspekulasi dan kehilangan kepercayaan. Di era digital yang membanjiri informasi, sikap tertutup justru memicu kecurigaan lebih jauh.
5. Penanganan Krisis yang Dinilai Kurang Efektif
Respons pemerintah dalam situasi krisis—termasuk pandemi, bencana alam, atau krisis ekonomi—adalah momen penting membangun atau menghancurkan rasa percaya. Kebijakan yang berubah-ubah, bantuan yang terlambat, atau dugaan penyalahgunaan dana bantuan sosial memperparah ketidakpercayaan publik terhadap kemampuan pemerintah melindungi warganya ketika paling membutuhkan.
6. Polarisasi Politik dan Penyalahgunaan Kekuasaan
Polarisasi politik yang tajam memecah ruang publik dan memperburuk kepercayaan. Penggunaan alat negara untuk membungkam lawan politik, pembatasan kebebasan pers, serta kampanye opini yang terorganisir oleh aktor-aktor berpihak, membuat wacana publik terdistorsi. Ketika tujuan pemerintahan tampak lebih pada mempertahankan kekuasaan ketimbang melayani publik, legitimasi melemah.
7. Janji Politik yang Tak Terealisasi
Banyak janji kampanye yang menggugah harapan—misalnya soal lapangan kerja, pemerataan, atau reforma birokrasi—berakhir tak terpenuhi. Kegagalan memenuhi janji tanpa penjelasan transparan menyebabkan kekecewaan yang bertumpuk dan menurunkan kepercayaan terhadap pemimpin dan institusi pemerintahan.
Dampak Berkurangnya Kepercayaan
Penurunan kepercayaan publik membawa konsekuensi nyata:
- Menurunnya kepatuhan publik: Kebijakan penting (mis. vaksinasi, program ekonomi) lebih sulit diterapkan jika masyarakat tidak percaya pada niat atau kapabilitas pemerintah.
- Apatisme politik: Elektoral dan partisipasi sipil dapat menurun ketika warga merasa suara mereka tidak berarti.
- Potensi konflik sosial: Ketidakpuasan yang meluas memicu demonstrasi dan ketegangan yang merusak stabilitas.
- Dampak ekonomi: Investasi dan perencanaan jangka panjang terhambat oleh ketidakpastian politik dan kepercayaan yang rapuh.
Langkah untuk Membangun Kembali Kepercayaan
Memulihkan kepercayaan publik menuntut komitmen jangka panjang dan tindakan nyata:
- Penegakan hukum tanpa pandang bulu: Investigasi dan penindakan kasus korupsi harus konsisten dan transparan.
- Peningkatan transparansi: Membuka akses data anggaran, hasil audit, dan proses kebijakan agar publik dapat mengawasi.
- Partisipasi publik: Melibatkan masyarakat sipil, akademisi, dan pelaku usaha kecil dalam perumusan kebijakan.
- Perbaikan layanan publik: Meningkatkan kualitas layanan kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial sebagai bukti nyata keberpihakan.
- Komunikasi yang jujur: Menyampaikan kendala dan alasan kegagalan secara transparan jauh lebih membangun daripada janji kosong.
Catatan: Membangun kembali kepercayaan bukan pekerjaan semalaman. Dibutuhkan konsistensi, reformasi kelembagaan, dan budaya publik yang saling mengawasi. Namun bila dilakukan sungguh-sungguh, kepercayaan yang hilang dapat dipulihkan—membuka jalan bagi pemerintahan yang lebih efektif dan legitimitas yang kuat.