Secara sederhana, kalau RUU Perampasan Aset ini tujuannya untuk memberantas korupsi dan kejahatan ekonomi, maka seharusnya orang yang bersih dan tidak pernah mengambil aset ilegal tidak perlu merasa takut.
Tapi di dunia politik dan hukum, kondisinya sering lebih rumit. Mari kita bedakan dua sisi:
1. Logika Publik: “Hanya Koruptor yang Takut”
-
RUU ini menutup celah koruptor: selama ini, banyak koruptor masih bisa menikmati aset hasil kejahatan karena menunggu putusan pidana lama atau kasus dihentikan.
-
Orang jujur tidak dirugikan: kalau asetnya legal dan bisa dipertanggungjawabkan, apa yang mau ditakutkan?
-
Jadi wajar publik menduga: kalau DPR menunda-nunda, bisa jadi ada konflik kepentingan karena sebagian anggota legislatif punya aset yang tidak jelas asal-usulnya, atau khawatir keluarga/partainya terseret.
2. Logika Hukum dan Politik: “Takut Salah Pakai”
Namun, sebagian anggota DPR beralasan bahwa mereka bukan takut kehilangan aset “haram”, melainkan:
-
Khawatir abuse of power → aparat bisa salah sasaran, misalnya aset warga yang sah ikut disita karena ada sengketa dokumen atau kesalahan administrasi.
-
Praduga tak bersalah → RUU ini memungkinkan aset dirampas tanpa menunggu vonis pidana. Nah, bagi sebagian orang ini rawan melanggar prinsip HAM dan bisa dipakai untuk menekan lawan politik.
-
Kepentingan politik → di DPR, setiap fraksi biasanya mempertimbangkan bagaimana undang-undang berdampak pada partai dan konstituen. Bisa jadi, “takut” di sini lebih pada takut efek politik, bukan semata takut karena merasa bersalah.
3. Kenyataannya Bisa Campuran
-
Ada yang benar-benar khawatir soal aspek hukum & HAM.
-
Ada juga yang punya kepentingan pribadi, misalnya aset yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
-
Sulit dibuktikan siapa yang murni khawatir soal hukum, siapa yang takut karena korupsi — tapi wajar publik curiga, karena DPR punya rekam jejak kasus korupsi yang cukup tinggi (ICW mencatat lebih dari 100 legislator pernah terjerat korupsi sejak 2004).
Jadi, benar: kalau benar-benar bersih, mestinya DPR tidak takut mengesahkan RUU Perampasan Aset. Tapi dalam politik, istilah “takut” tidak selalu berarti karena korupsi pribadi — bisa juga karena takut resiko hukum, politik, atau penyalahgunaan.