Saya ingin berbagi sebuah pengalaman pribadi yang cukup membuat frustasi—pengalaman bertahun-tahun bergelut dengan penyakit kulit bernama skabies, atau yang sering disebut kudis. Mungkin sebagian dari kalian yang membaca ini juga sedang mengalami hal yang sama atau mengenal seseorang yang sedang menderita penyakit ini. Semoga cerita ini bisa menjadi pelajaran, bahkan mungkin menjadi solusi alternatif yang bermanfaat.
Awal Mula Terkena Skabies
Saya masih ingat jelas ketika pertama kali mulai merasa gatal yang tidak wajar, terutama saat malam hari. Rasa gatal itu begitu intens, sampai-sampai saya sulit tidur. Bagian tubuh yang paling terasa adalah sela-sela jari, lipatan siku, pinggang, dan area tubuh yang tertutup pakaian. Awalnya saya kira hanya alergi biasa atau mungkin karena keringat. Namun, ketika rasa gatal mulai disertai dengan munculnya ruam merah dan bulatan kecil berair di kulit, saya mulai curiga ada yang tidak beres.
Berkali-kali Ke Puskesmas dan Dokter Kulit
Saya memutuskan untuk pergi ke puskesmas terdekat. Di sana saya langsung didiagnosis mengalami skabies. Perawat dan dokter di sana meresepkan salep Permetrin 5%, obat topikal yang memang umum digunakan untuk mengobati skabies. Cara pakainya cukup sederhana: dioleskan ke seluruh tubuh dari leher hingga telapak kaki, lalu dibiarkan semalaman dan dibilas keesokan harinya. Saya pun mengikuti instruksi itu dengan harapan besar.
Namun, gatal tak juga hilang. Beberapa hari reda, lalu kambuh lagi. Saya kembali ke puskesmas, dan lagi-lagi diresepkan Permetrin 5%. Karena tidak ada perkembangan signifikan, saya memutuskan untuk naik level dan pergi ke dokter spesialis kulit di rumah sakit swasta. Lagi-lagi, resepnya sama: Permetrin 5%. Saya juga diberi antihistamin untuk meredakan gatal.
Setelah mencoba berulang kali, dengan total lebih dari 6 kali perawatan yang semuanya menggunakan obat yang sama, saya mulai merasa frustasi. Saya bahkan sampai membersihkan seluruh rumah, mencuci seprai dan pakaian dengan air panas, menjemur kasur, menyemprot disinfektan, dan melakukan segala protokol kebersihan yang disarankan. Tapi hasilnya tetap nihil. Skabies itu seolah tak mau pergi dari tubuh saya.
Titik Balik: Menemukan Artikel Tentang pH dan Mikroorganisme
Saat rasa putus asa memuncak, saya mulai menggali lebih banyak informasi sendiri di internet. Saya membaca berbagai jurnal, artikel, hingga forum diskusi tentang parasit kulit dan kutu penyebab skabies. Di salah satu artikel, saya membaca sesuatu yang sangat menarik: banyak mikroorganisme, termasuk kutu, sangat bergantung pada tingkat pH (keasaman) lingkungan untuk bisa bertahan hidup.
Kutu Sarcoptes scabiei yang menjadi penyebab skabies, ternyata bisa terganggu jika pH kulit berubah secara drastis. Kulit manusia biasanya berada di pH 5,5 (sedikit asam). Maka timbul ide aneh di kepala saya: bagaimana jika saya mencoba mengubah pH kulit secara drastis di area yang terinfeksi?
Cuka Makan: Senjata Rahasia dari Dapur
Karena tidak punya banyak pilihan dan obat dari dokter tak kunjung berhasil, saya iseng mengambil cuka makan dari dapur. Cuka dikenal memiliki pH sangat rendah (sekitar 2-3), yang berarti sangat asam. Sebelumnya saya tahu cuka bisa digunakan untuk menghilangkan jamur atau bahkan jerawat, tetapi saya belum pernah mendengar ada yang menggunakannya untuk skabies.
Saya putuskan untuk mencoba di area kecil terlebih dahulu. Bulatan berair di kulit saya pecahkan dulu dengan tangan bersih (bisa juga dengan jarum steril), lalu saya oleskan cuka makan secara langsung menggunakan kapas. Rasanya? Perihnya bukan main! Seperti disiram cabai cair. Tapi saya tahan saja, karena sudah sangat lelah dengan penderitaan bertahun-tahun ini.
Saya lakukan ini di malam hari sebelum tidur, hanya di area yang paling parah.
Keesokan Harinya: Hasil yang Mengejutkan
Saya tidak percaya dengan apa yang saya lihat keesokan harinya. Bagian kulit yang semalam saya olesi cuka tampak kering total. Bulatan berairnya mengempis, tidak ada ruam baru, dan rasa gatalnya juga hilang. Ini adalah pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama saya merasa lega dan nyaman di kulit sendiri.
Saya lalu melanjutkan pengobatan ini ke area lain secara bertahap. Setiap kali muncul ruam atau bulatan baru, saya ulangi metode yang sama: pecahkan, olesi cuka, tahan rasa perihnya, dan tunggu sampai kering. Dalam waktu seminggu, kulit saya bersih total. Tidak ada lagi bulatan, tidak ada ruam baru, tidak ada gatal.
Refleksi: Obat Dokter Belum Tentu Obat Terbaik
Saya bukan anti-medis atau anti-dokter. Saya tetap menghormati dunia medis dan semua tenaga kesehatan. Tapi pengalaman ini mengajarkan saya bahwa tidak semua penyakit bisa disembuhkan dengan metode standar. Kadang, tubuh kita bisa merespons lebih baik pada solusi alami, asalkan kita mengerti cara kerja musuh kita.
Cuka bukan obat resmi untuk skabies. Tapi dari pengalaman saya, ini adalah senjata rahasia dari dapur yang sangat efektif. Mungkin karena keasamannya yang ekstrem, ia mampu membunuh kutu dan telur-telurnya yang bersarang di lapisan luar kulit.
Tips Tambahan untuk yang Ingin Mencoba
- Gunakan cuka makan putih (bukan cuka apel, karena bisa lengket dan baunya menyengat).
- Pecahkan dulu bulatan kecil di kulit sebelum mengoleskan, agar cuka bisa masuk ke lapisan bawah.
- Oleskan menggunakan kapas bersih.
- Lakukan di malam hari dan jangan bilas semalaman.
- Jangan oleskan ke luka terbuka lebar atau kulit yang sangat sensitif (bisa terlalu perih).
- Jangan gunakan di area wajah atau kelamin tanpa konsultasi.
Penutup
Saya tidak menyarankan Anda langsung meninggalkan pengobatan medis jika sedang menjalani pengobatan skabies. Tapi jika Anda sudah mencoba berkali-kali dan belum ada hasil, tidak ada salahnya mencoba solusi alami yang masuk akal dan aman.
Saya bersyukur menemukan solusi sederhana ini dari dapur sendiri. Kadang, penyembuhan tidak datang dari apotek, tapi dari rasa ingin tahu dan sedikit keberanian untuk mencoba hal baru. Terima kasih telah membaca cerita saya, semoga bisa membantu Anda atau orang yang Anda cintai yang sedang berjuang melawan skabies.