Di tengah berbagai permasalahan bangsa, banyak rakyat yang mulai mempertanyakan keberadaan dan fungsi lembaga-lembaga seperti Komnas HAM, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ketiganya dibentuk dengan mandat konstitusional yang mulia: melindungi hak asasi manusia, menjaga hak anak, serta mewakili suara rakyat. Namun, benarkah mereka masih menjalankan tugas itu dengan baik?
Komnas HAM: Mandat Mulia, Tapi Lemah dalam Tindakan?
Komnas HAM dibentuk untuk menjamin penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia. Namun, dalam banyak kasus pelanggaran HAM berat—seperti tragedi 1965, penculikan aktivis 1998, hingga kekerasan terhadap masyarakat adat dan petani—Komnas HAM kerap hanya “mengeluarkan pernyataan” tanpa tindak lanjut konkret.
Banyak korban dan keluarga korban merasa frustrasi karena laporan mereka hanya "dijadikan arsip." Tidak sedikit pula publik menilai Komnas HAM terlalu normatif dan tidak memiliki keberanian politik untuk mendesak penuntasan kasus ke jalur hukum yang lebih tinggi. Hal ini menimbulkan kesan bahwa Komnas HAM hanya simbol, bukan penyelesai masalah.
KPAI: Sering Salah Fokus?
KPAI seharusnya menjadi garda terdepan dalam perlindungan anak. Namun, banyak kasus di mana KPAI dianggap lebih banyak menanggapi hal-hal viral di media sosial ketimbang menyelesaikan kasus mendasar seperti kekerasan seksual di sekolah, perdagangan anak, atau eksploitasi anak di sektor informal.
Sebagai contoh, publik mengkritik keras ketika KPAI terlalu cepat bereaksi terhadap kasus "anak ikut lomba lari di bawah umur" atau "anak menari di acara tertentu"—sementara kasus pelecehan seksual oleh oknum guru malah terabaikan atau penanganannya sangat lambat.
Tak jarang, masyarakat mempertanyakan: apakah KPAI benar-benar bekerja untuk anak, atau hanya sibuk mencari sorotan?
DPR: Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Elit?
DPR adalah lembaga perwakilan yang seharusnya menyuarakan aspirasi rakyat. Tapi yang terjadi, justru DPR sering diasosiasikan dengan korupsi, absensi tinggi, hingga pembuatan undang-undang yang dianggap lebih berpihak pada korporasi daripada rakyat.
Contohnya, disahkannya UU Cipta Kerja dan UU Minerba mendapat kritik luas dari rakyat karena dianggap merugikan pekerja dan lingkungan. Proses legislasi pun sering dilakukan secara tertutup, terburu-buru, dan minim partisipasi publik.
Lebih menyakitkan lagi, banyak anggota DPR justru sibuk membangun citra pribadi di media sosial atau sibuk kampanye sebelum masa jabatan berakhir—sementara rakyat yang memilih mereka tetap berjibaku dengan harga kebutuhan pokok yang naik, pendidikan yang mahal, dan kesehatan yang tidak merata.
Mengapa Rakyat Mulai Tidak Percaya?
- Minim Aksi Nyata: Banyak laporan dan janji, tapi minim hasil konkret.
- Sibuk Gimik Media: Fokus pada isu viral daripada isu substansial.
- Elitisme: Terputus dari realitas rakyat kecil.
- Kurangnya Transparansi dan Akuntabilitas.
Apa yang Harus Dilakukan?
Daripada sekadar menyalahkan, rakyat berhak untuk menuntut perbaikan sistem:
- Mendorong revisi undang-undang agar lembaga-lembaga ini lebih independen dan efektif.
- Mendesak audit kinerja secara berkala dan transparan.
- Memperkuat partisipasi publik dalam pengawasan lembaga negara.
- Mengganti pemimpin lembaga yang tidak layak atau tidak pro-rakyat.
Penutup
Kritik terhadap Komnas HAM, KPAI, dan DPR bukan berarti menolak keberadaan lembaga tersebut. Justru sebaliknya, kritik adalah bentuk cinta rakyat yang menginginkan lembaga-lembaga ini kembali kepada marwahnya: melayani dan melindungi rakyat, bukan sekadar simbol formalitas negara.
Jika tidak segera berbenah, maka wajar jika rakyat menyimpulkan: lembaga-lembaga ini hanya menghabiskan anggaran, tanpa menghasilkan manfaat nyata.